LANGUAGE

Cari artikel

Menggerakkan restorasi lahan lewat pasangan suami istri

ID
5 menit baca
Kesetaraan gender di Kenya bukan cuma soal rumah tangga tapi juga soal menjaga hutan dan lahan bersama.
In the last four years, 5.4 million hectares have been deforested in Indonesia which is equivalent to 9.2% of Kalimantan and Sumatra’s forest cover

Restorasi hutan dan lahan dapat bermula dari rumah tangga. Bukti terbaru menunjukkan bahwa pelatihan bagi pasangan suami istri untuk memperkuat kerja sama dalam keluarga dan komunitas mampu mendorong pemulihan bentang alam secara nyata.. 

Dengan pendekatan baru melalui pelatihan dialog komunitas bersama Asosiasi Komunitas Hutan (CFA) lokal, sebuah lokakarya bagi pasangan suami istri di Taita Taveta, Kenya, pada Mei 2025 mendorong laki-laki dan perempuan untuk berbagi tanggung jawab baik di rumah maupun di lapangan.

Pesan utamanya sederhana tapi kuat: restorasi akan lebih berhasil jika perempuan dan laki-laki terlibat aktif sejak dari rumah. Perubahan di tingkat keluarga bisa menular ke komunitas, lalu ke lingkungan yang lebih luas. 

Dukungan dan partisipasi aktif dari individu dan komunitas lokal, baik perempuan maupun laki-laki, sangat penting untuk mencapai restorasi yang berkelanjutan,” ujar Mary Crossland, peneliti sistem penghidupan dan pertanian di Centre for International Forestry Research–World Agroforestry (CIFOR–ICRAF). Lembaga ini memimpin proyek Delivering Nature-Based Solutions for Forest and Landscape Restoration yang didanai oleh UK PACT (Partnering for Accelerated Climate Transitions), dan mendorong dialog komunitas sebagai pendekatan untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat lokal dalam restorasi hutan dan bentang alam.

“Kalau masyarakat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan soal restorasi lahan, atau tidak merasakan langsung manfaatnya, mereka cenderung enggan terlibat,” ujar Crossland. Ia menambahkan bahwa pelatihan bagi pasangan ini muncul sebagai permintaan langsung dari komunitas.

Anggota komunitas di Taita Taveta, Kenya, berpartisipasi dalam sesi dialog gender dengan menggunakan alat bantu visual untuk merefleksikan peran, hubungan, dan restorasi. Foto oleh Kelvin Trautman / CIFOR-ICRAF

“Melihat dari perspektif rumah tangga yang melibatkan semua anggota keluarga dalam keputusan dan kerja restorasi, bisa meningkatkan peluang keberhasilan dan keberlanjutan dari upaya restorasi itu sendiri,” jelasnya.

Sebanyak 22 pasangan suami istri yang sudah terlibat aktif dalam kegiatan restorasi melalui Asosiasi Komunitas Hutan (CFA) setempat mengikuti pelatihan selama dua hari dengan pendekatan Gender, Equity, and Social Inclusion (GESI), atau Kesetaraan Gender, Keadilan, dan Inklusi Sosial.

Di akhir lokakarya, para peserta sepakat untuk mulai menerapkan perubahan di rumah, dari hal-hal sederhana seperti berbagi tugas, mengelola pembibitan pohon, beternak lebah, hingga saling memberi waktu untuk menghadiri rapat CFA.

Selama sesi pelatihan, para pasangan diajak menganalisis peran masing-masing dalam kegiatan pertanian dan pemanfaatan hutan, berlatih mengambil keputusan bersama, serta membangun komunikasi yang lebih baik. Mereka juga berkomitmen sebagai keluarga untuk mendukung upaya restorasi secara kolektif.

Melalui kegiatan bermain peran, para peserta belajar menumbuhkan empati terhadap pasangannya. Mereka juga menyusun indikator untuk memantau kemajuan, dan merenungkan bersama seperti apa gambaran “masa depan yang bahagia” bagi keluarga mereka.

Yang tak kalah penting, banyak peserta menyadari bahwa keterlibatan pasangan sangatlah penting. Mereka tahu, jika ide baru hanya datang dari satu pihak, besar kemungkinan akan ditolak oleh pasangan lainnya. Namun, ketika keduanya terlibat sejak awal, akan lebih mudah untuk saling memahami dan mendukung satu sama lain.

Para peserta juga berkomitmen untuk membagikan hasil pelatihan kepada komunitas mereka, dan menjadi pelopor dalam upaya restorasi yang bertujuan meningkatkan hasil pertanian sekaligus menumbuhkan rasa memiliki terhadap praktik berkelanjutan.

Sebagian besar pasangan ini bekerja di bidang agroforestri, seperti beternak lebah di kawasan hutan, menanam pohon buah dan sayuran, serta memelihara ayam dan ternak lainnya. Hasilnya umumnya digunakan untuk kebutuhan keluarga, sementara kelebihannya dijual di pasar lokal.

Pasangan-pasangan di Taita Taveta bekerja bersama di pembibitan pohon komunitas—sebagai bagian dari upaya memperkuat tanggung jawab bersama dalam restorasi hutan dan lahan. Foto oleh Kelvin Trautman / CIFOR-ICRAF

Lokakarya bagi pasangan ini merupakan kelanjutan dari dialog komunitas terstruktur yang berfokus pada Gender, Equity, and Social Inclusion (GESI). Kegiatan ini menggunakan berbagai alat interaktif untuk mendorong diskusi yang inklusif dan dipimpin langsung oleh komunitas.

Selama dua tahun terakhir, lebih dari 600 anggota CFA Chawia dan Vuria di Taita Taveta telah mengikuti pelatihan dalam proyek yang dijalankan oleh CIFOR–ICRAF. Materi pelatihan mencakup berbagai topik, mulai dari peran gender dalam kehutanan hingga cara mengambil keputusan secara adil dan setara.

Perubahan sikap pun mulai terlihat. Sejumlah perempuan merasa lebih percaya diri untuk berbicara dalam pertemuan dan terlibat aktif dalam proyek restorasi. Sementara itu, para laki-laki mulai terbuka untuk berbagi peran dalam kepemimpinan dan pekerjaan—terutama setelah mereka melihat manfaatnya secara langsung.

Keberhasilan ini diharapkan bisa membawa dampak yang lebih besar dan berkelanjutan bagi upaya restorasi di tingkat komunitas.

Menavigasi sensitivitas budaya tradisional—seperti keengganan laki-laki berbagi tugas rumah tangga atau melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan—adalah kunci untuk mendorong perubahan,” ujar Clemence Mnyika, fasilitator komunitas dari CIFOR–ICRAF.

Mnyika juga menjelaskan bahwa menjembatani perbedaan antara generasi muda yang cenderung ingin serba cepat dan generasi tua yang lebih berhati-hati, sama pentingnya dalam mencapai keberhasilan.

“Begitu pola pikir mulai berubah, orang akan mampu melakukan banyak hal secara mandiri,” tambahnya.

“Pelatihan GESI sangat diminati—bahkan ada pemangku kepentingan yang tertarik menyelenggarakan sesi serupa secara mandiri,” ujarnya.

“Beberapa perempuan sampai menelepon saya setelah pelatihan dan berkata, ‘Saya sangat senang—dulu suami saya tidak pernah mau mendengarkan, tapi sekarang sudah berubah’,” tambahnya sambil tersenyum.

“Restorasi akan memberi dampak lebih besar jika semua orang dilibatkan—baik perempuan maupun laki-laki, tua maupun muda.”


Acknowledgment 

This project is funded by UK PACT (Partnering for Accelerated Climate Transitions), a unique capacity-building programme jointly governed and funded by the UK Government’s Foreign, Commonwealth and Development Office (FCDO) and the Department for Energy Security and Net Zero (DESNZ) through the UK’s International Climate Finance. It works in partnership with countries with high emissions reduction potential to support them in implementing and increasing their ambitions for tackling climate change.  

The project “Delivering nature-based solution outcomes by addressing policy, institutional and monitoring gaps in forest and landscape restoration” is conducted in collaboration with the African Wildlife Foundation (AWF), FAO-Kenya, and the Government of Taita Taveta County. We would also like to acknowledge and thank the women, men, and community representatives from the Chawia and Vuria Community Forest Association who participated in this project and shared their time and insights.  

For further information, contact: