Tahun lalu, seorang avonturir sekaligus penulis Australia bernama Peter Gamgee dan tim pemandu lokal mendaki lereng Gunung Obree yang curam, licin, dan berlumut di Papua Nugini (PNG). Berjalan dalam sepatu bot yang basah kuyup, mereka teguh membuka jalan setapak dengan parang dan menembus kabut tebal dalam hutan. Penemuan kembali bangkai pesawat Flying Dutchman dari era Perang Dunia II oleh mereka di Pegunungan Owen Stanley, PNG, telah membuka kembali sebuah babak sejarah perang yang terlupakan — dan bisa memicu kegiatan trekking berkelanjutan di wilayah tersebut. Tujuan mereka bukan hanya tentang ingatan, melainkan juga soal penemuan: untuk menemukan pesawat yang telah lama hilang, yang lenyap di gunung itu pada 10 November 1942.
Itu bukanlah upaya pertama Gamgee. Pada 2020, sang avonturir telah menjelajahi wilayah tersebut, tetapi tidak berhasil menemukan bangkai pesawat itu karena mengikuti rumor-rumor berumur puluhan tahun yang telah bergeser detailnya seiring cerita-cerita yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Empat tahun kemudian, dipandu oleh pengetahuan lokal yang lebih akurat, tim tersebut kembali masuk ke dalam hutan pegunungan yang berawan dan dipenuhi lumut itu, dan berhasil menemukannya. Pada 4 Oktober, kilau logam kusam muncul di balik kehijauan: badan pesawat yang berkarat itu, dengan nomor seri yang mengonfirmasi identitasnya masih terlihat dalam cat kuning pudar di ekornya, beristirahat diam di ketinggian 2.700 meter.
Misi perang yang berubah menjadi tragedi
Pesawat nahas itu sedang mengirimkan personel AS dan perbekalan dari Port Moresby ke Pongani di pesisir utara PNG, untuk membantu pasukan Sekutu yang memerangi pasukan Jepang. Saat pesawat melintasi Pegunungan Owen Stanley yang terjal dan bergerigi, hujan badai melanda, menarik pesawat itu ke bawah.
“Kami sudah terbang hampir setengah jam ketika tiba-tiba pesawat itu terjebak dalam pusaran arus ke bawah dan jatuh,” kenang Sersan Senior Edward Holleman, seorang penumpang dan korban selamat. “Kami menabrak tajuk-tajuk pohon. Sesaat kemudian, kami jatuh. Saya ingat terpelanting dari tempat duduk saya, api berkobar hebat, amunisi bertebaran di mana-mana.”
Tujuh belas dari 23 orang di dalam pesawat selamat dari kecelakaan itu, tetapi delapan orang di antaranya mengalami luka parah. Selama beberapa hari berikutnya, dua kelompok berangkat untuk mencari bantuan, meninggalkan yang terluka. Tak satu pun yang kembali. Ketika penduduk setempat menemukan bangkai pesawat itu dua bulan kemudian, hanya satu orang yang masih hidup—kurang gizi dan tidak mampu berjalan. Ia meninggal dalam pelukan mereka sebelum mereka sempat membawanya ke tempat yang aman.
Sebuah catatan di pintu
Hari-hari terakhir mereka terabadikan dalam sebuah peninggalan yang gamblang dan intim: pintu toilet pesawat. Di pintu itu, mereka menuliskan catatan setiap hari, entri-entri singkat, sejak kecelakaan—ada yang pragmatis (“Menemukan sebatang cokelat”), ada pula yang bernada humor gelap (“Kehabisan makanan khayalan. Mereka seharusnya tak lama lagi”) dan ada pula yang memilukan (“Johnnie meninggal hari ini”). Ditemukan kembali pada 1961 dalam pencarian udara yang tidak bermaksud untuk mencarinya, pintu tersebut dipugar dan dipajang di Museum Perang Port Moresby sebelum dipinjamkan secara permanen ke Museum Nasional Angkatan Udara Amerika Serikat di Ohio.
Journalists visited a mangrove forest in Nusa Lembongan, Bali, in a field trip as part of their training on REDD+ and the role of wetlands
Mengubah sejarah menjadi jalan keluar
Oktober ini, Gamgee akan memimpin Trekking Perdana Flying Dutchman. Ekspedisi ini bertujuan untuk melakukan lebih dari sekadar mengikuti jejak tragedi tersebut.
“Alasan utama kami melakukan ini adalah untuk membangun kesadaran akan wilayah ini dan memperhatikan kebutuhan masyarakat [lokal],” kata Gamgee. “Ekspedisi ini juga untuk benar-benar melakukan sesuatu. Kami akan menyediakan obat-obatan, memasang lampu, dan alat komunikasi agar mereka bisa memanggil dokter atau evakuasi medis saat mereka membutuhkannya, karena saat ini mereka belum bisa melakukannya. Jadi, kami akan membangun dari situ.”
Bagi banyak komunitas di Pegunungan Owen Stanley, transportasi udara merupakan satu-satunya penghubung ke layanan pemerintah—membawa guru, petugas kesehatan, obat-obatan, dan penyuluh pertanian, sekaligus memungkinkan orang-orang bepergian untuk menempuh pendidikan, pengobatan, dan menjual tanaman atau hasil hutan.
“Penerbangan juga memungkinkan orang-orang bepergian untuk bersekolah dan berobat, serta menyediakan jalur untuk mengangkut tanaman dan hasil hutan untuk dijual,” ujar Will Unsworth, Manajer Proyek PNG di Center for International Forestry Research and World Agroforestry (CIFOR-ICRAF), yang mendukung pengembangan Kawasan Konservasi Managalas dengan pendanaan dari Uni Eropa. “Penerbangan adalah pintu gerbang menuju layanan penting. Tanpa itu, komunitas praktis terputus.”
Visi jangka panjangnya adalah mengembangkan rute trekking berkelanjutan yang menarik para pelancong internasional, memanfaatkan ekowisata untuk menyuntikkan sumber daya ke ekonomi lokal. Sebuah film dokumenter pendek yang sedang dirancang akan menceritakan kisah Flying Dutchman itu kepada khalayak global, seperti halnya jalur-jalur terkenal lainnya yang telah meraih popularitas melalui film.
“Kami akan memanfaatkan kisah penemuan kembali Flying Dutchman itu untuk membuat film dokumenter mini,” kata Gamgee. “Jika Anda melihat sejarah perkembangan jalur-jalur lain, jalur-jalur itu tidak ada apa-apanya sampai akhirnya difilmkan atau didokumentasikan.”
“Apabila pariwisata maju, itu menjadi alasan bagi layanan reguler untuk datang,” jelas Gamgee. “Akan ada obat-obatan yang tiba dengan penerbangan yang sama, atau orang-orang yang berangkat dengan muatan yang banyak. Guru akan lebih bersedia bekerja di sana jika mereka tahu mereka punya jalur masuk dan keluar yang andal. Itu mengubah banyak hal secara drastis.”
Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai proyek ini, silakan hubungi William Unsworth (CIFOR-ICRAF): w.unsworth@cifor-icraf.org










