LANGUAGE

Cari artikel

EN, ID
7 menit baca

Pada suatu pagi musim semi yang cerah di Cambridge Cottage, Royal Botanic Gardens Kew, London, para ahli botani, pakar kecerdasan buatan, serta para pemimpin restorasi dan konservasi berkumpul untuk merayakan peluncuran World Wide Wood—sebuah bentuk penghormatan digital kolaboratif bagi pepohonan di seluruh dunia.

Didukung oleh Google Arts & Culture dan melibatkan 118 mitra global dari 32 negara—termasuk Center for International Forestry Research dan World Agroforestry (CIFOR-ICRAF) melalui inisiatif Forests, Trees and Agroforestry (FTA)— inisiatif ini menjadi tonggak penting dalam mengisahkan kembali hubungan manusia dan alam secara digital dan lintas batas negara.

Laboratorium Hidup Kew

Alexandre Antonelli, Direktur Sains Kew, membuka acara peluncuran dengan penuh semangat. Ia menyampaikan apresiasi kepada semua mitra yang telah membuat proyek ini terwujud, menyebut Google sebagai penggerak utama, dan menyoroti peran vital para ilmuwan dari berbagai institusi. Antonelli juga menegaskan bahwa pendekatan ilmiah dalam proyek ini sejalan dengan nilai-nilai penelitian yang telah lama diterapkan di Kew Gardens.

Selanjutnya, Dr. Elinor Breman dari Millennium Seed Bank berbagi pandangan inspiratif. Sebagai paleoekolog dan manajer kemitraan, ia mengingatkan bahwa koleksi botani bukanlah benda mati yang hanya disimpan, melainkan aset hidup yang penting dalam membangun ketahanan terhadap krisis iklim.

Breman memaparkan data yang mencerminkan skala luar biasa dari konservasi yang dilakukan Kew: lebih dari 11.000 pohon yang mewakili sekitar 1.200 spesies hidup di kawasan Kew, sementara Wakehurst—unit kebun botani Kew di Sussex—menyimpan benih dari 40.000 spesies tumbuhan liar dalam fasilitas Millennium Seed Bank.”

Kew’s director of science, Alexandre Antonelli, opened the session.
Dr Elinor Breman, Millennium Seed Bank partnership manager and paleoecologist.

Ia juga memaparkan penerapan model iklim serta penggunaan data dari stasiun cuaca milik Kew sebagai dasar strategi assisted migration, yaitu pendekatan untuk menentukan spesies pohon yang mampu bertahan dalam kondisi iklim masa depan yang lebih panas dan kering.

“Kita tengah memasuki era di mana adaptasi menjadi kunci,” ujarnya, sambil menjelaskan bahwa proses konservasi—mulai dari penyimpanan benih, pembibitan, hingga pemulihan lanskap—seluruhnya berbasis pada ilmu pengetahuan dan prediksi ekologis jangka panjang.

Pandangan Global dari UNEP

“Deforestasi bukan cuma masalah negara tropis.”

Dr. Neville Ash dari United Nations Environment Programme World Conservation Monitoring Centre secara lugas memaparkan kondisi tutupan hutan dunia. “Deforestasi bukan cuma masalah negara tropis,” ujarnya, sambil menyebutkan bahwa negara-negara seperti Jerman dan Swedia juga mengalami kehilangan hutan yang mengejutkan dalam beberapa tahun terakhir. Meski begitu, Ash tetap optimis dengan menyebut bahwa berbagai upaya restorasi hutan terus menunjukkan kemajuan.

Dr Neville Ash of the United Nations Environment Programme World Conservation Monitoring Centre.

Dalam penjelasannya, Ash menekankan bahwa pohon hidup dalam dimensi waktu yang jauh melampaui kehidupan manusia. “Pohon akan terus berdiri bahkan setelah kita tiada,” tuturnya. Ia menggambarkan perjalanan panjang hubungan manusia dan pohon—dimulai dari masa ketika leluhur kita berlindung di antara ranting-rantingnya, hingga kini, saat makna perlindungan dari pohon tetap relevan dalam konteks ekologis maupun spiritual.

Pohon dan kecerdasan buatan bertemu

Dr Ben Gomes, kepala teknolog Google untuk Pembelajaran dan Keberlanjutan

Salah satu bagian paling emosional dari acara ini datang dari Dr. Ben Gomes, Chief Technologist Google untuk Pembelajaran dan Keberlanjutan. Dalam sesi yang hangat dan jujur, Gomes menceritakan pengalaman pribadinya dalam menemukan kembali kedekatan dengan alam.

Sebagai migran dari India ke Amerika Serikat, ia merasa terputus dari bahasa dan budaya yang biasa ia kenal—termasuk dalam mengenali pohon. “Ibu saya hanya tahu nama-nama pohon dari Tanzania dan India. Saya tidak bisa menyebutkan pohon yang tumbuh di sekitar sini,” tuturnya. Ia juga mengaku merasa asing dengan istilah teknis dalam ilmu botani. Namun pandemi COVID-19 menjadi titik balik. Dalam masa sunyi dan terbatasnya ruang gerak, ia mulai memotret tanaman di sekitar rumah dan menggunakan Google Lens untuk mengenalnya lebih jauh. Dari sana, lahirlah kembali rasa kedekatan dengan alam—perlahan, namun penuh makna.

Gomes membangun koneksi personal dengan tumbuhan melalui ingatan—mengaitkan setiap spesies dengan lokasi, iklim, dan narasi masa lalu. “AI memungkinkan saya menjalin percakapan dengan pengetahuan,” katanya. Lewat Gemini, ia terus mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan mendasar, termasuk satu yang tampak sederhana namun bermakna dalam: Apa itu pohon?

“Bagi saya, pohon adalah simbol kehidupan vegetatif—dari bentuk paling awal seperti Cooksonia hingga pohon Redwood yang megah—sebuah bentuk kehidupan yang dengan sabar dan setia terus mengejar cahaya,” ujar Gomes

Ketika alam menjadi seni

Puncak acara ini ditandai dengan peluncuran World Wide Wood dan eksperimen berbasis kecerdasan buatan, Botanic Atlas, yang diperkenalkan oleh Amit Sood, Direktur Google Arts & Culture, bersama Clare Brooks, Manajer Program dari inisiatif yang sama.

Kedua platform ini merupakan perpaduan antara teknologi, klasifikasi ilmiah, dan narasi visual—mengolah jutaan data menjadi kisah interaktif yang menggugah. Pengetahuan botani yang telah berkembang selama berabad-abad disajikan dalam bentuk perjalanan digital yang imersif dan mudah dipahami.

Sood menceritakan perjalanan transformasi Google Arts & Culture, dari yang semula berakar pada seni klasik, kini berkembang merangkul beragam aspek budaya—mulai dari kuliner, olahraga, hingga alam. Salah satu titik balik penting, kenangnya, terjadi saat ia mengunjungi kawasan Amazon. Di sana, seorang tetua adat mempersembahkan karya seni yang seluruhnya terbuat dari unsur alam—daun, kulit pohon, dan pewarna alami—bukan lukisan dalam arti konvensional. Perjumpaan itu mengubah pandangannya tentang batas-batas seni.

“Seni bukan semata lukisan minyak di atas kanvas—seni adalah apa pun yang mampu menjalin koneksi antarmanusia,” ungkap Sood. Pengalaman tersebutlah yang kemudian melahirkan gagasan Trees Hub, yang kini berevolusi menjadi World Wide Wood.

Amit Sood, director of Google Arts & Culture.
Clare Brooks, program manager at Google Arts & Culture.

Selanjutnya, Brooks mengajak audiens menelusuri beragam narasi yang tertanam dalam platform tersebut. Dari sekian banyak cerita, satu kisah terasa paling menyentuh: tentang Oak Józef, pohon ek Inggris berusia lebih dari 650 tahun yang tumbuh di Wiśniowa, kawasan tenggara Polandia. Pohon ini menyimpan sejarah kelam namun penuh harapan—batangnya yang berongga pernah menjadi tempat persembunyian bagi keluarga Yahudi yang melarikan diri dari kekejaman Nazi pada masa Perang Dunia II. Cerita ini dikisahkan dalam A Tree Shelter in WWII, dan seolah meneguhkan pernyataan Ash sebelumnya: bahwa sepanjang sejarah manusia, pepohonan telah menjadi pelindung yang diam namun setia.

Sebagai pelengkap pameran, Brooks mempersembahkan demo langsung dari Botanic Atlas—sebuah jendela eksplorasi berbasis AI yang digerakkan oleh Gemini. Atlas ini tersusun dari sekitar 450.000 spesimen tumbuhan dan pohon yang telah didigitalkan, mencakup lebih dari 30.000 spesies dari berbagai penjuru dunia. Berkat kontribusi dari Botanical Research Institute of Texas, CRIA di Brasil, dan Herbarium Universitas Cambridge, pengguna diajak menelusuri semesta flora ini lewat peta interaktif yang memetakan kehidupan hijau berdasarkan batas-batas negara—sebuah cara baru melihat dunia lewat jejak dedaunan.

“Kami berharap alat ini menyalakan kembali rasa ingin tahu yang melintasi generasi, mengundang setiap orang untuk memandang pohon bukan sekadar elemen lanskap, melainkan saksi bisu dari perjalanan peradaban,” ujar Brooks tentang Atlas ini. “Mimpi kami adalah agar setiap jiwa dapat jatuh cinta pada keheningan pohon—dan pada kebijaksanaan sunyi yang mereka bisikkan dari akar hingga daun.”

Dari biara ke pembibitan

Paul Smith, Sekretaris Jenderal Botanic Gardens Conservation International (BGCI), menutup acara dengan pengingat yang membumi: refleksi filosofis memang bernilai, namun krisis kepunahan spesies merupakan kenyataan yang mendesak.

“Pertanyaan tentang apa itu pohon bisa bersifat filosofis — namun juga sangat ilmiah,” ujarnya.

Smith menampilkan sejumlah data luar biasa yang dihimpun oleh BGCI, dengan penekanan khusus pada laporan State of the World’s Trees 2021, yang mengidentifikasi sekitar 17.500 spesies pohon berada dalam berbagai tingkat risiko kepunahan — beberapa di antaranya bahkan hanya tersisa segelintir individu di alam liar.

.

Paul Smith, secretary general of Botanic Gardens Conservation International.

Ia kemudian membagikan pengalaman pribadinya dari Bhutan, tentang Cupressus cashmeriana—pohon nasional negara tersebut yang kini terancam punah. Sesuai dekrit kerajaan, hanya kayu dari pohon inilah yang diizinkan untuk pembangunan biara. Namun akibat penebangan yang berlebihan, populasinya terus menurun. Setelah menerima permintaan dari wali kota Lembah Dangchu, Smith segera terbang ke lokasi untuk meninjau langsung kondisi di lapangan. Menanggapi situasi tersebut, BGCI bersama para mitra membangun program pembibitan dan pengumpulan benih secara lokal. Kini, lebih dari 41.000 bibit telah ditanam di atas lahan seluas 12 hektare di Lembah Dangchu—menjadi bukti nyata bahwa data ilmiah, kerja sama komunitas, dan penghormatan terhadap budaya dapat bersinergi untuk melindungi sekaligus memulihkan spesies yang terancam punah.

Para singa tua dan para pembelajar muda

Acara diakhiri dengan tur keliling kebun yang dipandu oleh Thomas Freeth, Kepala Divisi Living Collection Support di Kew, yang memperkenalkan peserta kepada “para Singa Tua” — sebutan penuh hormat untuk pohon-pohon tertua dan paling bersejarah di kebun tersebut.

Di jalur yang sama, anak-anak sekolah melangkah kecil menyusuri taman, menciptakan kontras yang indah antara usia dan masa depan—sebuah gambaran nyata tentang bagaimana teknologi modern dan warisan alam dapat membentuk wawasan generasi mendatang.

Thomas Freeth, head of the Living Collection Support at Kew introduced attendees to the “Old Lions” — the garden’s most venerable trees.
Thomas Freeth, head of the Living Collection Support at Kew introduced attendees to the “Old Lions” — the garden’s most venerable trees.

All photos credit: World Wide Wood project launch, Google Arts & Culture at Royal Botanic Gardens, Kew