LANGUAGE

Cari artikel

Partisipasi masyarakat sebagai bentuk perlindungan REDD+: Apa yang penting untuk dipertimbangkan?

Aspirasi lelaki, perempuan dan anak muda di propinsi Jambi

Melibatkan anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan soal pemanfaatan lahan, akan membantu menjamin hasil lebih adil bagi semua pihak dan keberlanjutan proyek setelah periode proyek berakhir.

Hal ini menjadi satu gagasan kunci di balik upaya mendorong partisipasi masyarakat sebagai salah satu bentuk perlindungan dalam implementasi REDD+: skema reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, serta memperkuat konservasi, tata kelola hutan berkelanjutan dan peningkatan stok karbon hutan.

Di Indonesia, perlindungan REDD+ yang diartikulasikan dalam Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) diterapkan melalui skema nasional PRISAI (Prinsip, Kriteria, Indikator, Perlindungan Indonesia) untuk menjaga keadilan distribusi manfaat.

Sejauh ini, PRISAI telah diuji di empat provinsi, termasuk provinsi padat hutan Jambi, pulau Sumatera. Ilmuwan dari CIFOR bersama jaringan LSM KKI WARSI (Komunitas Konservasi Indonesia WARSI) mengunjungi wilayah Bukit Panjang Rantau Bayur – disingkat Bujang Raba – untuk melihat bagaimana masyarakat Jambi dilibatkan dan mendapat manfaat dari intervensi yang dirancang untuk melindungi hutan lokal.

Mereka menggelar tiga diskusi kelompok terfokus dengan masyarakat lokal, masing-masing dengan lelaki, perempuan dan pemuda. Tiap kelompok menyuarakan kekhawatiran yang hampir mirip mengenai kesetaraan akses manfaat dari intervensi perlindungan hutan.

MEMBANGUN PEMAHAMAN BERSAMA

Dalam diskusi kelompok terfokus, para laki-laki terutama membicarakan keterlibatan mereka dalam inisiatif agroforestri yang mengembangkan hutan desa dan pembibitan masyarakat. Meski inisiatif sungguh-sungguh berusaha melibatkan semua pihak, diskusi menyoroti masih adanya masalah ketidaksetaraan akses informasi dan sumber daya.

Sejalan dengan nilai Kesadaran Bebas dan Terinformasi (FPIC), dorongan untuk menerapkan Hutan Desa di wilayah ini sejak 2011, diarahkan untuk melibatkan seluruh anggota masyarakat. Walaupun, banyak masyarakat lokal awalnya ragu, karena takut perubahan status tenurial akan menghalangi mereka dalam memanfaatkan lahan.

Setelah berunding selama enam bulan, solusi yang diusulkan adalah pemberian status ‘area pemanfaatan’ dan ijin budidaya bagi masyarakat desa, dengan catatan mereka mengganti pohon yang ditebang. Selain itu, masyarakat juga dilibatkan secara penuh dalam inisiatif pembibitan pohon karet, coklat dan kapulaga.

Kehidupan sehari-hari pria di Jambi: Membawa anak-anak mandi di sungai. Icaro Cooke Vieira/CIFOR
Kehidupan sehari-hari pria di Jambi: Berbelanja sayur mayur di pasar tradisional. Icaro Cooke Vieira/CIFOR

Meski kampanye dari pintu ke pintu telah dilakukan oleh Kelompok Pengelola Hutan Desa (KPHK) dalam distribusi bibit coklat dan kapulaga, peserta diskusi melaporkan, banyak yang belum menerima informasi, dan menyatakan hanya orang-orang tertentu dalam kelompok yang dapat mengakses bibit. Sebagian tahu soal proyek, namun beranggapan bahwa stok bibit yang tersedia terbatas.

Pengalaman menunjukkan bahwa proses mengetahui, membangun pemahaman bersama, dan mencari solusi membutuhkan waktu. Proses ini seharusnya melibatkan berbagai kelompok yang mungkin memiliki kepentingan berbeda, bahkan dalam masyarakat yang relatif homogen. Hal ini dapat membantu menjamin efektivitas implementasi Kesadaran Bebas dan Terinformasi (FPIC) dan keadilan distribusi manfaat REDD+.

MENGHORMATI PENGETAHUAN DAN KELEMBAGAAN LOKAL

Pada diskusi kelompok terfokus, perempuan dari dusun Sungai Letung berbagi pengalamannya mendirikan dan mengelola koperasi keuangan mikro.

Koperasi Simpan Pinjam (KSP) tersebut didirikan agar anggota bisa meminjam uang saat diperlukan. Anggota dapat mengakses kredit mikro untuk diinvestasikan dalam pertanian dan usaha lain. Saat memerlukan biaya tambahan, penduduk desa yang bukan anggota KSP dapat mengakses kredit-mikro dengan bunga lebih tinggi, dan jaminan yang memadai.

Para perempuan menceritakan pengalaman yang dihadapi saat implementasi inisiatif tersebut, salah satunya adalah terbatasnya sumber dana, ketika banyak yang membutuhkan pinjaman.

Icaro Cooke Vieira/CIFOR Icaro Cooke Vieira/CIFOR
Icaro Cooke Vieira/CIFOR Icaro Cooke Vieira/CIFOR
Kehidupan sehari-hari wanita di Jambi. Hasil riset menemukan bahwa mekanisme pembagian manfaat yang sudah disesuaikan dengan budaya akan lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat.

Aktivitas KSP terintegrasi dengan pengajian yasinan bulanan perempuan. Di akhir pengajian, pengelola KSP melaporkan posisi keuangan koperasi, pinjaman, status pembayaran, dan masalah-masalah lain. Aturan dan keputusan tersebut didiskusikan dan disepakati dalam pertemuan anggota.

Perlindungan REDD+ membutuhkan implementator proyek yang menghormati pengetahuan dan kelembagaan lokal. Memasukkan pola bagi manfaat ke dalam mekanisme yang sudah mapan secara kelembagaan dan teradaptasi dalam budaya, akan membuatnya lebih cepat diterima legitimasi dan akuntabilitasnya oleh masyarakat lokal. Pengalaman dari KSP perempuan menguatkan hal tersebut.

KESETARAAN AKSES INFORMASI

Generasi muda dalam diskusi kelompok terfokus ketiga, berbagi pengalaman mereka terlibat pada berbagai proyek pemerintah di desa mereka.

Banyak di antara mereka bekerja membuat jalan dan membangun sistem irigasi. Mereka melaporkan bahwa akses pada lapangan kerja tampaknya sangat tergantung pada kedekatan mereka dengan pejabat lokal dan kontraktor proyek.

Mereka menyatakan, bahwa sebagian besar pertemuan desa, di mana proyek didiskusikan, hanya menargetkan orang dewasa. Sebagai generasi muda, mereka mengaku hanya dihitung kontribusi fisiknya dalam implemetasi proyek.

Di dalam skema REDD +, masyarakat mengelola kebun di Bujang Raba, Jambi, dan mengembangkannya menjadi agroforestri multi-tier. Dengan menerapkan model ini diharapkan masyarakat di lima desa mendapatkan penghasilan berkelanjutan, yaitu dari kebun karet, kopi, kayu manis, kapulaga dan buah jernang – sekaligus menjaga hutan primer agar tetap utuh.

Meski tidak biasa untuk mengelompokkan generasi muda sebagai kelompok marjinal, mereka dapat dimarjinalkan dalam program desa, kususnya ketika mereka tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Saat diskusi, para generasi muda mengaku ingin suara dan aspirasinya didengar.

Hal ini merupakan pelajaran berharga bagi desain dan implementasi perlindungan REDD+:  menjamin partisipasi penuh dan efektif bagi seluruh pemangku kepentingan. Seperti disuarakan dalam diskusi, dalam proses ini, partisipasi generasi muda perlu lebih diperhatikan.

Penelitian ini masih berlangsung di Indonesia, Peru dan Burkina Faso.  Koleksi foto lengkap dari Jambi tersedia untuk dilihat di tautan ini.

Icaro Cooke Vieira/CIFOR